Perubahan Iklim dan Capaian SDGs

Oleh AHMAD ARIF (16 September 2023 02:06 WIB)

Dunia tidak akan mampu memberantas kemiskinan, mengakhiri kelaparan, atau menyediakan pendidikan berkualitas bagi semua orang pada tahun 2030, sebagaimana menjadi target pembangunan berkelanjutan.

Warga menjemur bantalnya di antara rel yang melalui kawasan hunian semipermanen padat penduduk di Pademangan, Jakarta Utara, Kamis (17/7/2023).
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTOWarga menjemur bantalnya di antara rel yang melalui kawasan hunian semipermanen padat penduduk di Pademangan, Jakarta Utara, Kamis (17/7/2023). 

Tahun ini menandai setengah jalan dari Tujuan Pembangunan Berkelanjutan Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang disepakati pada tahun 2015. Namun, pemanasan global yang semakin menguat membuat kita semakin menjauh dari tujuan bersama itu.

Target Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) merupakan kumpulan dari 17 tujuan yang saling terkait dan 169 target yang dirancang untuk berfungsi sebagai ”cetak biru bersama untuk perdamaian dan kemakmuran bagi manusia dan planet bumi, sekarang dan di masa depan”. Beberapa tujuannya, antara lain, ialah kesetaraan jender, aksi iklim, kesehatan dan kesejahteraan yang baik, serta tidak adanya kemiskinan.

Ke-17 SDGs ditetapkan pada 2015 sebagai seruan mendesak semua negara untuk bertindak guna mengatasi tantangan global, dan target ini diharapkan bisa tercapai pada 2030. Jadi, tahun ini menandai setengah jalan dari SDGs.

Menjelang batas waktu SDGs pada tahun 2030, dunia sudah keluar jalur.

Untuk melihat progres SDGs ini, kelompok ilmuwan independen yang ditunjuk oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) diberi tugas untuk menilai kemajuan SDGs dan merekomendasikan cara untuk bergerak maju. Mereka menulis hasil evaluasinya di jurnal Nature pada Rabu (13/9/2023).

Laporan ini telah ditinjau oleh 104 peneliti dengan keahlian di berbagai bidang, mulai dari kesejahteraan manusia dan ekonomi hingga pangan, energi, perkotaan, dan sumber daya alam. Salah satu penulisnya adalah Prof Jaime Miranda, Kepala Fakultas Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran, dan Kesehatan di Universitas Sydney. Penulis lainnya, termasuk ilmuwan terkenal dari berbagai disiplin ilmu dan kebangsaan, dengan makalah yang dipimpin oleh Shirin Malekpour dan Cameron Allen dari Monash University, Australia.https://cdn-assetd.kompas.id/6Dsje2nvMcH4vf9JaLAJZRS9_MI=/1024x768/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F07%2F24%2Fe177cf70-4aa8-4eab-8ce4-d3e8ef609fc6_png.png

Para ilmuwan menyoroti tiga bidang prioritas untuk tindakan, yaitu menghilangkan hambatan terhadap kemajuan, menemukan jalur yang layak dan hemat biaya untuk mencapai tujuan, dan memperkuat tata kelola.

Target ini dipecah menjadi target individu, dan penulis menilai 36 sampel untuk mendapatkan gambaran kemajuannya. Dari jumlah tersebut, hanya dua yang berada pada jalur yang tepat pada 2023, yaitu akses terhadap jaringan seluler dan penggunaan internet. Di luar itu, hampir semuanya dinilai tidak memenuhi target, bahkan cenderung menyimpang semakin jauh.

Para ilmuwan ini menunjukkan, dengan tingkat kemajuan yang ada saat ini, dunia tidak akan mampu memberantas kemiskinan, mengakhiri kelaparan, atau menyediakan pendidikan berkualitas bagi semua orang pada 2030.

Baca juga: Dunia Menjauh dari Target Pembangunan Berkelanjutan

Sebaliknya, pada akhir dekade ini, dunia diprediksi akan memiliki 575 juta orang yang hidup dalam kemiskinan ekstrem, 600 juta orang menghadapi kelaparan, dan 84 juta anak-anak dan remaja putus sekolah. Kenaikan suhu akan melampaui batasan ”aman” yang ditetapkan Perjanjian Iklim Paris sebesar 1,5 derajat celsius terhadap rata-rata kenaikan suhu global. Dan jika kita melihat kondisi saat ini, dibutuhkan waktu 300 tahun untuk mencapai kesetaraan jender.

Faktor perubahan iklim

Selain gejolak sosial politik, termasuk perang di Ukraina, yang berdampak global, ada faktor lain yang dianggap menjadi tantangan besar untuk memenuhi target SDGs, yaitu perubahan iklim.

Organisasi Meteorologi Dunia (WMO), dalam laporan terbaru, dirilis pada Kamis (14/9/2023), menyebutkan, kondisi iklim saat ini melemahkan upaya global untuk mengatasi kelaparan, kemiskinan dan kesehatan yang buruk, meningkatkan akses terhadap air bersih dan energi serta banyak aspek pembangunan berkelanjutan lainnya.

Pemandangan umum Kota Derna terlihat pada Selasa (12/9/2023). Badai Mediterania Daniel menyebabkan banjir dahsyat di Libya yang merusak bendungan dan menyapu seluruh lingkungan di beberapa kota pesisir, kerusakan terbesar tampak di kota Derna.
AP PHOTO/JAMAL ALKOMATYPemandangan umum Kota Derna terlihat pada Selasa (12/9/2023). Badai Mediterania Daniel menyebabkan banjir dahsyat di Libya yang merusak bendungan dan menyapu seluruh lingkungan di beberapa kota pesisir, kerusakan terbesar tampak di kota Derna. 

Menurut data WMO, antara tahun 1970 dan 2021 terdapat hampir 12.000 bencana yang dilaporkan akibat cuaca, iklim, dan hujan ekstrem, yang menyebabkan lebih dari 2 juta kematian dan kerugian ekonomi sebesar 4,3 triliun dollar AS. Lebih dari 90 persen kematian yang dilaporkan dan 60 persen kerugian ekonomi terjadi di negara-negara berkembang sehingga menghambat pencapaian target pembangunan berkelanjutan.

Meningkatnya suhu global dibarengi dengan cuaca yang lebih ekstrem. Kemungkinan rata-rata suhu global dekat permukaan tahunan melebihi 1,5 derajat celsius di atas suhu pra-industri selama setidaknya satu dari lima tahun ke depan adalah sebesar 66 persen dan terus meningkat seiring berjalannya waktu.

Sejauh ini, kemajuan dalam mengurangi kesenjangan emisi pada 2030 masih sangat terbatas. Kesenjangan ini terjadi antara pengurangan emisi yang dijanjikan oleh negara-negara dan pengurangan emisi yang diperlukan untuk mencapai sasaran suhu dalam Perjanjian Paris. Emisi CO2 bahan bakar fosil meningkat 1 persen secara global pada 2022 dibandingkan 2021 dan perkiraan awal dari Januari–Juni 2023 menunjukkan peningkatan lebih lanjut sebesar 0,3 persen.

Baca juga: Emisi Karbon Dioksida Mencapai Rekor Tertinggi pada 2022

Dengan tren pemanasan global seperti ini, bisa dipastikan bahwa cuaca bakal semakin ekstrem. Itu berarti, frekuensi dan intensitas bencana bakal menguat.

Pemenuhan pangan, yang merupakan bagian dari SDGs 2, yaitu Zero Hunger, juga bakal sulit terpenuhi. Cuaca ekstrem bakal mengganggu setiap pilar ketahanan pangan, dari segi akses, ketersediaan, pemanfaatan, dan stabilitas.

Jepri (60-an) hanya bisa pasrah menyaksikan tanaman padinya puso akibat kekurangan air di kawasan Dangdang, Tangerang, Banten, Jumat (8/9/2023).
KOMPAS/HENDRA A SETYAWANJepri (60-an) hanya bisa pasrah menyaksikan tanaman padinya puso akibat kekurangan air di kawasan Dangdang, Tangerang, Banten, Jumat (8/9/2023).

Beberapa perubahan iklim di masa depan tidak dapat dihindari lagi dan berpotensi tidak dapat diubah. Namun, setiap derajat suhu dan ton CO2 penting untuk membatasi pemanasan global dan mencapai SDGs.

Laporan WMO ini menegaskan, agar dapat memenuhi tujuan Perjanjian Paris untuk membatasi pemanasan hingga di bawah 2 derajat celsius dan sebaiknya 1,5 derajat celsius, emisi gas rumah kaca global harus dikurangi masing-masing sebesar 30 persen dan 45 persen pada 2030, dengan emisi CO2 mendekati nol bersih pada 2050. Hal ini memerlukan transformasi berskala besar dan segera.

”Tahun 2023 telah menunjukkan dengan sangat jelas bahwa perubahan iklim sedang terjadi. Suhu yang mencapai rekor menghanguskan daratan dan memanaskan laut karena cuaca ekstrem menyebabkan malapetaka di seluruh dunia. Meskipun kita tahu bahwa ini hanyalah permulaan, respons global masih jauh dari harapan. Sementara itu, menjelang batas waktu SDGs pada tahun 2030, dunia sudah keluar jalur,” kata Sekretaris Jenderal PBB António Guterres.

Laporan terpisah dari para ilmuwan dan ahli di WMO jelas menunjukkan bahwa upaya memitigasi perubahan iklim mesti dilakukan sejalan dengan upaya mencapai SDGs.

Sumber: https://www.kompas.id/baca/humaniora/2023/09/15/perubahan-iklim-melemahkan-hampir-semua-tujuan-pembangunan-berkelanjutan

Leave a comment